MEDAN, Eksisnews.com – Hingga kini orang di Indonesia terus mengklaim masa dimana ia hidup sebagai era reformasi. Padahal jika terminologi reformasi itu dimaknai sesuai definisinya, yakni “make changes in (something, typically a social, political, or economic institution or practice) in order to improve it”, maka tanda-tanda besar reformasi itu justru sudah berhenti di Indonesia saat Gus Dur pergi dari gelanggang. Kalau begitu era apa sesudahnya harus dinamai?
Masa SBY (Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono) mungkin tepat disebut ditandai dengan stabilitas yang tinggi yang terbukti dengan kelanggengan kekuasaannya hingga 2 periode. Selain itu SBY kelihatan berusaha memantapkan dasar-dasar kehidupan demokrasi, baik dalam kelembagaan maupun dalam kultur. Itu bukan untuk menafikan adanya protes-protes keras terhadap pemerintahannya.
“Apa yang menjadi tanda besar bagi pemerintahan Jokowi? Saya melihat adanya mentalitas revivalisme kelompok-kelompok ideologi yang ingin saling mengeliminasi. Pada garis besarnya terdapat dua kelompok besar di permukaan, meski sebetulnya tidak sesederhana itu. Klaim counter claim adalah ciri penting di balik kesukaan melahirkan jargon-jargon yang sangat berpotensi mempersubur irrasionalitas di tengah masyarakat,” ujar Sohibul Anshor Siregar selaku Pengamat Politik Sumatera Utara, Jumat (15/2/2019).
Dikatakannya, ibarat sekelompok serigala yang memperoleh buruan, akhirnya kawanan itu saling sikut setelah berhasil melumpuhkan mangsa dan tinggal mengenyangkan perut masing-masing. Common enemy hilang, saatnya mendefinisikan enemy baru sesuai persepsi masing-masing.
“Kita tidak perlu heran, bahwa sejak dahulu kala perebutan hak asuh atas negeri ini adalah sesuatu yang berlangsung dengan segenap konsekuensi. Apa yang terjadi saat ini hanyalah kelanjutan belaka,” ungkapnya.
Berdasarkan itulah, menurut Sohibul, dalam rivalitas golongan-golongan itu sama sekali pengaruh asing tidak boleh dikecilkan. Bahkan proxylah yang begitu kuat menghangatkan konflik yang terjadi.(ENC-2).
Komentar