oleh

Calon DPD RI Sutan Erwin Sihombing: Pemilih Difabel Dalam Pusaran Politik Electoral 2019

-ADVETORIAL-371 views

MEDAN, Eksisnews.com – Mereka penyandang disabilitas punya hak yang sama, perlakuan yang sama, penghargaan yang sama, itu akan kita upayakan, baik disabilitas fisik dan mental.

Lahir sebagai disabilitas bukanlah harapan/kemauan kaum Difabel diseluruh dunia.Khusus di Indonesia, sebagai warga negara para difabel mendapat perlakuan yang sama dengan warga negara Indonesia yang lain (non difabel) tanpa pengecualian.

Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)RI 2019-2024 Sutan Erwin Sihombing A.Md. SH, mengatakan pendapat KH.Maruf Amin, mantan Ketua MUI Pusat di atas patut diapresiasi dan didukung sepenuhnya. Negara hadir untuk kaum disabilitas, begitulah maksud pernyataan beliau. 13 UU 8/2016 (UU penyandang disabilitas) mengatur hak-hak politik penyandang disabilitas/kaum difabel di Indonesia.

“Antara lain memilih dan dipilih dalam jabatan publik, menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan, memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum, membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau partai politik, membentuk dan bergabung dalam organisasi penyandang disabilitas dan untuk mewakili penyandang disabilitas pada tingkat lokal, nasional, dan internasional,” ujar Sutan Erwin Sihombing.

Kemudian kata Sutan Erwin, berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya, memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain dan memperoleh pendidikan politik.

“Mencermati undang-undang penyandang disabilitas di atas, semakin memperkuat kedudukan kaum difabel dalam pusaran politik electoral di Indonesia khususnya di tahun politik /pemilu 2019,” jelas Sutan Erwin Sihombing.

Pada Pemilu 2019 , jumlah pemilih dari kalangan kaum disabilitas mencapai sekitar 11.882 orang pada pemilu 2019 di Sumatera Utara. Secara rinci, terdiri dari 3.869 orang pemilih tunadaksa, 1.863 orang pemilih tunanetra, 2.289 orang pemilih tunarungu wicara, 1.714 orang pemilih tunagrahita dan 2.147 pemilih disabilitas lainnya.

Hal ini disampaikan Komisioner KPU Bidang Data dan Informasi, Herdensi Adnin. KPU Sumut,  memiliki komitmen moral dalam memperhatikan hak para pemilih akses. Di mana, ada banyak aturan yang menjamin hak pemilih akses, selain peraturan komisi pemilihan umum 3 tahun 2019, ada undang-undang yang juga melindungi hak disabilitaKomisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara menyiapkan Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk pemilih penyandang disabilitas. Persiapan TPS khusus itu untuk menjamin para difabel memberikan hak pilihnya dengan mudah.

Kepala Biro Teknis dan Hubungan Masyarakat Komisi Pemilihan Umum, Nur Syarifah, mengatakan pemilih penyandang disabilitas dapat menggunakan pendamping dari Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) saat hendak mencoblos surat suara 17 April 2019.

Setelah selesai mendampingi pemilih penyandang disabilitas, sang pendamping wajib mengisi formulir pendampingan. formulir pendampingan ini harus diisi untuk memastikan bahwa sang pendamping mencoblos surat suara sesuai keinginan pemilih penyandang disabilitas.

Para kaum difabel menurut Sutan Erwin Sihombing harus diistimewaka pada 17 April 2019 mendatang,  keterbatasan-keterbatasan mereka.

Amanat UU pasal 13 UU 8/2016 harus dikawal agar asas persamaan hak politik sebagai warga negara tidak tercederai. “Ingat,Vox Populi,Vox Dei,suara rakyat adalah Suara Tuhan. Semoga!,” ujar aktivis tersebut yang masih meraih posisi teratas dengan perolehan 30.6%  (sampai tanggal 6 April 2019) Berdasarkan pollingkita.com. Mohon Doa dan dukungan untuk mengawal Visi dan Misi Calon DPD RI No.35 agar tetap di posisi teratas sampai pada hari pencoblosan

Kaum Millenial Sebagi Subjek Politik Elektoral  2019

 “Give me 1000 parents so They will pull Semeru mountain until the roots. But if you give me 10 teenagers, so They will shake the world”. (Soekarno)

Berikan aku 1000 orang tua, jadi Mereka akan mencabut gunung semeru hingga akarnya. Tapi, jika kamu memberi aku 10 pemuda, maka mereka akan mengguncangkan dunia.

Hampir di setiap peradaban yang ada, perubahan selalu diawali dengan campur tangan pemuda. Indonesia sebagai salah satu contohnya, peran pemuda/millenial  sangat berpengaruh besar atas proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Jika bukan karena semangat yang membara dan kegigihan kaum muda untuk meminta Soekarno memproklamasikan kemerdekaan RI, tentu Indonesia semakin lama menuai kemerdekaan dan tetap menjadi boneka Jepang pada waktu itu.

Mengutip apa yang tersirat pada ungkapan Soekarno tentang pemuda dan pembangunan negara, bahwa dengan hanya 10 pemuda, maka dia sanggup membawa Indonesia menjadi lebih baik. Ungkapan tersebut, tidak hanya semata suatu yang bombastis di mulut sang proklamator. Sejarah mencatat, masa peralihan dari orde lama ke orde baru pada tahun 1966 dan peralihan dari orde baru ke masa reformasi sampai sekarang pun lahir karena andil pemuda dengan pengorbanan yang tidak sedikit dari mereka.

Sehingga asumsi yang sudah mengakar sampai sekarang adalah pemuda adalah agen perubahan. Namun demikian, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah pemuda membawa Indonesia berubah menjadi lebih baik atau berubah menjadi lebih buruk. Tentu semua menginginkan berubah menjadi lebih baik dan menuju kesempurnaan.

Untuk merubah Indonesia menjadi lebih baik dan menuju kesempurnaan , dibutuhkan peran aktif generasi milenial dalam berbagai bidang politik, ekonomi, sosial, budaya. Di bidang politik, generasi milenial juga harus mampu menyebar ke semua lini politik: seperti partai,NGO,Ormas dan lainnya,untuk kemudian mengambil peran kunci  di masing-masing institusi.

(Generasi Milenial adalah  terminology generasi  untuk generasi muda yang lahir diantara tahun 1980 hingga 2000(berusia 15-34 tahun).Disebut milenial karena satu-satunya generasi yang pernah melewati millennium kedua sejak teori generasi ini dihembuskan pertama kali oleh Karl Mannheim pada 1923)

Terkait dengan dunia politik di Indonesia,penting juga melihat bagaimana pemuda melihat setiap proses politik kenegaraan yang terjadi di Indonesia,dan seberapa besar tingkat partisipasinya.

Menurut Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC),pemilih berusia 17-38 mencapai 55% pada 2019 nanti.Pemilih dengan rentang usia ini bisa dikatakan sesuai dengan kisaran usia milenial. Menurut Survey yang dilakukan Alvara Research Center tahun 2014 menunjukkan pemilih muda Indonesia didominasi oleh swing voters/pemilih galau,dan apathetic voters/pemilih cuek.

Dalam konteks politik electoral 2019 di Indonesia, apatisme milenial terhadap politik tak lepas dari persepsi bahwa politik itu kotor.Laporan tahunan KPK sejak 2004 hingga 2016 menunjukkan bahwa sebanyak 32% dari mereka yang ditangkap KPK adalah kader Partai Politik.

Realita inilah yang membuat kaum muda malas untuk terjun ke dunia politik sebagai pengurus partai,atau hanya sekedar mencoblos pada setiap Pemilu di Indonesia. Adalah Daniel Wittenberg, pada 2013 menulis artikel di The Guardian  mengenai anak muda dan politik. Ia dengan tegas mengatakan bahwa sesungguhnya anak muda tertarik dengan politik tapi tak pernah diberi kesempatan dalam politik.

Meningkatnya jumlah generasi milenial yang memasuki kancah politik  menjadi tanda dimulainya proses perpindahan tonggak kepemimpinan dalam dunia politik.Disinilah anak muda/kaum millenial mengambil peran sebagai “Subjek” politik,bukan lagi sebagai objek/pelengkap semata.

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Zaenal A Budiyono mengatakan: kemunculan generasi milenial (Gen Y) kedalam dunia politik merupakan sesuatu yang harus disambut baik.Sebab pada masa Orde Baru (Orba),politik merupakan sesuatu yang menakutkan.Anak muda saat itu hanya menjadi penonton(objek) dari akrobat politik  yang dilakukan politisi-politisi tua.

Di tengah pandangan bahwa generasi milenial  adalah generasi yang apatis terhadap politik,dunia justru sedang mengalami  naikdaunnya politik anakmuda atau politik milenial. Kita bisa melihat Emmanuel Macron(39) presiden termuda Prancis dalam sejarah, Sebastian Kurtz (31) Kanselir Austria yang disebut pemimpin dunia termuda,Nathan Law(23) anggota parlemen Hongkong.

Di Indonesia Kehadiran Partai Solidaritas Indonesia(PSI) juga bisa diartikan naik daunnya politik milenial di negeri ini. 70% dari pengurus PSI berusia dibawah 33 tahun. Sehingga tak salah jika PSI dilihat sebagai partainya millennial. Kehadiran, keterlibatan generasi milenial di dunia politik (electoral) Indonesia 2019  cepat atau lambat akan mampu memperbaiki citra partai politik yang saat ini cenderung menurun dimata masyarakat.

Sudah saatnya Generasi Milenial sebagai “New Bloods” berani maju sebagai pemimpin dengan menyebar ke semua lini politik dengan mengambil peran kunci di berbagai institusi, khususnya pada Gawean Pesta Demokrasi di Indonesia, Pemilu 2019 sebagai Subjek Politik Electoral di Indonesia. Pepatah bijak mengatakan “The youth is the hope of our future”, Pemuda adalah harapan masa depan kita.

Perjuangan Rakyat Ciptakan Pemerintahan Untuk Rakyat

“Election days come and go. But the struggle of the people to create a government which represents all of us and not just the one percent – a government based on the principles of economic, social, racial and environmental justice – that struggle continues.” — Bernie Sanders

(Hari-hari pemilihan datang dan pergi. Tetapi perjuangan rakyat untuk menciptakan pemerintahan yang mewakili kita semua dan bukan hanya satu persen — sebuah pemerintahan yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan ekonomi, sosial, rasial dan lingkungan — perjuangan itu terus berlanjut.)

Adalah Bernard “Bernie” Sanders,Senator Amerika Serikat yang mempopulerkan Adagium politik di atas. Ia menyatakan bahwa kepentingan untuk menciptakan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip keadilan ekonomi, sosial, lingkungan adalah perjuangan tiada akhir diatas kepentingan Pemilu semata.

Sebab Pemilihan umum tidak lebih “hanya” merupakan suatu strategi untuk menuai legitimasi para elite pengambil keputusan melalui mekanisme partisipasi politik masyarakat.” ( Max Weber, 1947) Weber,Sosiolog Jerman ternama itu merasa “muskil” untuk mewujudkan pemilu yang legitimate dengan kondisi menjelang Pemilu, rakyat hanya digunakan sebagai alat pragmatis merebut kursi jabatan .

Pragmatisme berbentuk demokrasi prosedural yang syarat dengan kepentingan dominasi calon dengan alat rakyat sebagai pelanggengan kebiasaan curang, budaya suap menyuap (money politik) transaksional, bantuan sosial, serta janji-janji menggiurkan lainnya serta dilakukan dengan cara memelihara sumber konflik rakyat, ataupun menciptakan konflik baru.

Setara Institute merilis hasil penelitian tentang pelanggaran KBB (Kebebasan Beragama Berkeyakinan) di Indonesia sepanjang 2018 terdapat sebanyak 202 tindakan pelanggaran KBB. Banyaknya pelanggaran KBB, Hoax, sentimen agama yang “didramatisir” (politik agama), money politics selama proses Pemilu 2018- 2019 yang memecah belah rakyat secara masif dan sistemik adalah bukti sahih sumber konflik tersebut.

Siapakah yang paling bertanggung jawab? Elite Politikkah? menurut Weber, Ya. WS.Rendra, Penyair kenamaan tanah air dalam sajak Maskumambang mengatakan, meskipun hidup berbangsa perlu politik, tetapi politik tidak boleh menjamah kemerdekaan iman dan akal di dalam daulat manusia namun daulat manusia dalam kewajaran hidup bersama di dunia harus menjaga daulat hukum alam, daulat hukum masyarakat dan daulat hukum akal sehat.

Walaupun banyak persoalan/konflik dalam penyelenggaraan pemilu 2019 namun dalam tulisan ini penulis ber-Ijtihad untuk mencari solusi agar Pemilu 2019 berlangsung aman, damai, jurdil dan yang lebih penting adalah : Legitimate untuk mencapai sebuah pemerintahan yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan ekonomi, sosial, rasial dan lingkungan (Bernie Sanders)
Pemilu serentak 17 April 2019.

Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang tinggal menghitung hari dilaksanakan dengan sistem langsung oleh rakyat (direct democracy). KPU-RI sebagai penyelenggara wajib mengawal setiap tahapan Pemilu serentak ini dengan seoptimal mungkin.

Pelaksanaan asas dan prinsip Pemilu oleh penyelenggara menjadi elemen penting terbentuknya legitimasi Pemilu. Legitimasi atau keabsahan Pemilu adalah persoalan fundamental politik dan merupakan bangunan yang membentuk stabilitas politik suatu negara. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD RI 1945) pada pasal 1 ayat 2.

Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Prinsip kedaulatan ada di tangan rakyat, secara politik tercermin dari penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) itu sendiri. Secara konstitusional, rakyat memiliki kedaulatan dalam menentukan kepemimpinan, baik eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati/Wali Kota) maupun legislatif (DPR RI, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan DPD RI).

Apabila Pemilu serentak tidak legitimate maka tujuan negara tidak tercapai. Padahal tujuan negara adalah penciptaan kesejahteraan bagi warganegaranya dan kesejahteraan menjadi hukum yang tertinggi bagi negara dan penguasa negara “salus populi, suprema lex”. 
Untuk memperkuat peran rakyat dalam Pemilu serentak dibutuhkan kerangka dan komitmen yang kuat terhadap rakyat dalam berdemokrasi kerakyatan, sebagai tradisi politik rakyat Indonesia, sehingga menghasilkan pemimpin yang legitimate.

Sosiolog Ignas Kleden menjelaskan legalitas sebagai pemerintahan yang dibentuk melalui pemilihan umum yang demokratis sesuai regulasi atau peraturan yang ada. Sebaliknya, legitimasi ialah pemerintahan dari rakyat dan dipilih oleh rakyat dan kemudian digunakan untuk rakyat. Dengan kata lain, legitimasi berkaitan erat dengan proses sosial, sedangkan legalitas berhubungan dengan aspek hukum.

Baik legalitas dan legitimasi harus mampu diraih para Calon pemimpin /Caleg yang bertarung(termasuk Capres/Cawapres) untuk mewujudkan Pemilu Bersih, Jujur,Adil, berkualitas demi perkembangan Demokrasi itu sendiri. Dus, cita-cita mewujudkan Pemilu 2019 menjadi ajang/strategi meraih legitimasi rakyat akan terwujud Jika sinergi positif dan apik antara rakyat sebagai pemegang kedaulatan, KPU sebagai penyelenggara Pemilu dan elite politik sebagai penguasa terbangun.

Ingat, kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat dan diatas segalanya adalah Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa ( Bung Karno)

(Penulis adalah calon DPD RI Dapil Sumut No.urut 35.Berdasarkan PollingKita.Com meraih posisi teratas dengan perolehan 30.6%(sampai tanggal 6 April 2019) Mohon Doa dan dukungan untuk mengawal Visi dan Misi Calon DPD RI No.35 agar tetap di posisi teratas sampai pada hari pencoblosan ,17 April 2019 guna menciptakan Sumut Gemilang.Salam 35,salam kerakyatan

Komentar

Baca Juga